Bawolato, HarianNias.com - Masyarakat Adat Öri Bawölato yang merupakan keturunan dari marga Lafau dan Telaumbanua di Kecamatan Bawölato, Kabupaten Nias, mendatangi lokasi aktivitas PT. Nias Indah Agro Sejahtera (NIAS) untuk menuntut dihentikannya segala kegiatan perusahaan di atas lahan yang mereka klaim sebagai tanah ulayat milik adat.
Aksi ini digelar pada Rabu (30/4/2025) dan melibatkan tokoh-tokoh adat, pemuka masyarakat, serta warga Kecamatan Bawölato yang bertindak sebagai ahli waris sah atas tanah tersebut. Dari pihak perusahaan, hadir Humas PT. Nias Indah Agro Sejahtera atas nama Tabosiagö Lafau, Asisten Penanaman, serta pengamanan dari Polres Nias.
Koordinator lapangan aksi, Data’aro Telaumbanua, menegaskan bahwa masyarakat adat tidak pernah melakukan transaksi jual beli terhadap tanah ulayat tersebut. Oleh karena itu, segala bentuk aktivitas perusahaan dianggap ilegal.
“Kami dengan tegas menolak segala bentuk aktivitas PT. Nias Indah Agro Sejahtera di atas tanah ulayat kami. Hingga saat ini, belum pernah ada kesepakatan sah yang melibatkan seluruh ahli waris dari Marga Lafau dan Telaumbanua Doki,” tegas Data’aro Telaumbanua.
Dalam pernyataan sikapnya, Data’aro menyampaikan empat poin tuntutan utama masyarakat adat Öri Bawölato:
- Kami ahli waris menolak dengan tegas aktifitas PT. Nias Indah Agro Sejahtera di atas tanah Ulayat atau tanah adat nenek moyang kami marga Lafau dan Telaumbanua Doki semenjak kami sampaikan surat keberatan ini
- Tanah Ulayat atau tanah adat kami Marga Lafau dan Telaumbanua Doki tidak pernah kami mengadakan transaksi Jual Beli atau di hak gunakan kepada Pihak manapun.
- Kami nyatakan juga bahwa kami belum pernah menguasakan kepada pihak manapun baik pemerintah maupun perorangan untuk melakukan transaksi jual beli ke pihak lain, Kecuali yang di hibahkan Kepada Pemerintah Kabupaten Nias sesuai dengan surat hibah tanggal 07 Desember 2012.
- Perlu kami sampaikan bahwa tanah ulayat atau Tanah adat belum pernah di lakukan pembagian atas tanah tersebut.
Pernyataan ini diperkuat dengan dokumen yang berisi 87 tanda tangan tokoh masyarakat, sebagai bentuk legalitas sosial. Masyarakat memberikan waktu 7x24 jam kepada perusahaan untuk memberikan tanggapan. Jika tidak, mereka mengancam akan melakukan aksi lanjutan dengan jumlah massa yang lebih besar.
“Kami beri waktu 7x24 jam kepada PT. Nias Indah Agro Sejahtera untuk merespon. Jika tidak, aksi lanjutan dengan massa lebih besar akan digelar dan kami akan mengusir seluruh alat berat dari tanah ulayat kami,” tambah Data’aro.
Di sisi lain, pihak perusahaan melalui Humas PT. NIAS, Tabosiagö Lafau, menyatakan bahwa jika masyarakat merasa keberatan, mereka dipersilakan menempuh jalur hukum.
“Bila Keberatan, ini sudah terbuka, lahan kita yang sudah dibeli PT. Nias Indah Agro Sejahtera, silahkan dilaporkan ke pihak hukum yang berwajib disesuaikan dengan SOPnya,” ujar Tabosiagö.
Ia menambahkan bahwa pengaduan yang hanya disampaikan secara lisan tidak akan menyelesaikan masalah:
“Kalau kita hanya menyampaikan di sini keluhan kita Mohon maaf bapak-bapak, saudara semua tidak akan jadi, dimana kita sampaikan? dipihak hukum, penegak hukum di pengadilan lah di situ nanti nampak siapa penjual tanah ini,” tambah dia.
Helman Lafau, koordinator aksi lainnya, menegaskan bahwa tanah adat tidak dapat diperjualbelikan tanpa persetujuan seluruh ahli waris. Ia mendesak perusahaan agar menghormati kearifan lokal dan adat setempat.
Sementara itu, Foarota Lafau, tokoh masyarakat yang pernah menjabat Kepala Desa Sisarahili Bawölato selama 25 tahun, turut angkat bicara mengenai status tanah tersebut.
"Saya tahu persis tanah ini adalah warisan nenek moyang marga Lafau dan marga Telaumbanua Doki. Tidak pernah dijual dan tidak pernah dibagi ke pihak luar," tegasnya.
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Moinasökhi Lafau, mantan Kepala Desa Dahana, yang turut mengklaim memiliki lahan di lokasi yang disengketakan.
"Selain tanah warga sekitar, saya juga memiliki tanah di wilayah itu. Tapi tanah kami diambil begitu saja tanpa ada proses hukum. Ini jelas perampasan," katanya.
Aksi yang berlangsung damai ini ditutup dengan penyampaian surat pernyataan resmi kepada pihak perusahaan. Dalam surat itu, masyarakat menegaskan bahwa tidak pernah ada proses jual beli atau izin resmi atas tanah adat yang kini dijadikan perkebunan kelapa sawit. (Kornelius Nehe)
0 Komentar